pc

Monday, April 8, 2013

MENGENAL KISAH BRATAYUDA

Baratayuda, adalah istilah yang dipakai di Indonesia untuk menyebut perang besar di Kurukshetra antara keluarga Pandawa melawan Korawa. Perang ini merupakan klimaks dari kisah Mahabharata, yaitu sebuah wiracarita terkenal dari India.

Istilah Baratayuda berasal dari kata Bharatayuddha (Perang Bharata), yaitu judul sebuah naskah kakawin berbahasa Jawa Kuna yang ditulis pada tahun 1157 oleh Mpu Sedah atas perintah Maharaja Jayabhaya, raja Kerajaan Kadiri. Sebenarnya kitab baratayuda yang ditulis pada masa Kediri itu untuk simbolisme keadaan perang saudara antara Kerajaan Kediri dan Jenggala yang sama sama keturunan Raja Erlangga . Keadaan perang saudara itu digambarkan seolah-olah seperti yang tertulis dalam Kitab Mahabarata karya Vyasa yaitu perang antara Pandawa dan Kurawa yang sebenarnya juga keturunan Vyasa sang penulis

Kisah Kakawin Bharatayuddha kemudian diadaptasi ke dalam bahasa Jawa Baru dengan judul Serat Bratayuda oleh pujangga Yasadipura I pada zaman Kasunanan Surakarta.

Di Yogyakarta, cerita Baratayuda ditulis ulang dengan judul Serat Purwakandha pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwana V. Penulisannya dimulai pada 29 Oktober 1847 hingga 30 Juli 1848., 

"SOURCE : WIKIPEDIA"


KAKAWIN BHĀRATAYUDDHA
Seperti telah dijelaskan pada bagian pengantar, KB merupakan karya sastra Jawa Kuna hasil gubahan Mpu Sedah dan Mpu Panuluh.  Bahasa yang digunakan adalah Bahasa Jawa Kuna dengan menggunakan metrum puisi Jawa Kuna.  Merujuk pada keterangan Poerbatjaraka, KB digubah di masa pemerintahan Raja Jayabhaya di Kediri atau Daha.  Keterangan mengenai hal ini disesuaikan dengan bagian pembukaan KB yang memuat tentang raja yang tengah bertahta dan sebuah kronogram berbunyi sanga-kuda-suddha-candrama atau sang akuda śuddha candramā menurut Zoetmulder yang merujuk pada angka tahun 1079 Çaka atau 1157 Masehi, atau lebih lengkapnya pada hari pertama dalam bulan ketiga yang kemudian menghasilkan tanggal 6 September 1157 Masehi.

Seperti telah dipaparkan pula sebelumnya bahwa baik Gunning maupun Poerbatjaraka sama-sama berpendapat bahwa KB merupakan karya sastra Jawa Kuna yang memiliki kualitas kebahasaan dan kesastraan yang luar biasa baik.  Seakan merasa belum cukup dengan pujian semacam ini atas KB, Gunning sendiri seperti dikutip oleh Poerbatjaraka menyatakan bahwa kualitas KB yang sekelas ini membuatnya pantas untuk disandingkan dengan karya-karya sastra Yunani Kuna.  Boleh jadi pernyataan ini terlalu dilebih-lebihkan oleh Gunning sehingga Poerbatjaraka yang mengutip pernyataan tersebut saja tidak berani menjaminkan ketepatannya.  Akan tetapi ada kemungkinan pula bahwa KB memang karya sastra Jawa Kuna yang benar-benar memiliki keistimewaannya sendiri.  Salah satu keistimewaan KB barangkali adalah adanya ungkapan formulaik seperti pernah diteliti oleh Kuntara Wiryamartana atas pupuh 14 dan 15 KB.  Ungkapan formulaik mengacu pada tulisan Kuntara adalah larik atau setengah larik yang disusun sesuai dengan pola formula.  Formula sendiri berarti kelompok kata yang secara teratur digunakan dalam kondisi matra yang sama untuk mengungkapkan ide tertentu yang hakiki.  Pada KB, masih menurut Kuntara, ungkapan formulaik itu dipergunakan selain untuk memenuhi kaidah metrum juga berfungsi untuk membina cerita seperti menandai batas-batas unit cerita baik episode, sub-episode, maupun bagian yang lebih kecil lagi.  Selain itu, ungkapan formulaik dalam KB juga memiliki fungsi untuk menegarai pembaca, seperti mengarahkan pandangan dan harapan pembaca.

KB merupakan karya persembahan Mpu Sedah dan Mpu Panuluh yang menurut Zoetmulder adalah siswa Jayabhaya dalam hal sastra dan musik.  Mpu Sedah menggubah bagian awal hingga menjelang adegan Salya menjadi panglima tertinggi, sedang Mpu Panuluh meneruskan dari bagian tersebut hingga penutup. Banyak pihak yang mempertanyakan mengapa KB digubah secara estafet oleh dua orang penyair.  Baik Poerbatjaraka maupun Zoetmulder mengetengahkan argumen yang berbeda.  Poerbatjaraka sangat yakin bahwa hal ini dikarenakan terjadinya kesalahan di pihak Mpu Sedah yang mengakibatkan ia dijatuhi hukuman oleh Raja Jayabhaya.  Kesalahan yang dimaksud adalah ketika Mpu Sedah terlibat skandal dengan istri Raja Jayabhaya yang “dipinjamkan” sebagai contoh bagi Mpu Sedah untuk membuat deskripsi mengenai Setyawati istri Salya.  Argumen Poerbatjaraka tersebut dipatahkan oleh Zoetmulder yang membuktikan bahwa mekanisme penggubahan KB dengan dua orang penyair adalah sesuai dengan perintah dan kehendak Raja Jayabhaya.  Cerita Mpu Sedah yang dijatuhi hukuman dianggap sebagai isapan jempol belaka.

Cerita dalam KB dimulai dengan perjalanan Kŗşņa menuju negara Gajāhwaya untuk mewakili Pāņdawa dalam perundingan dengan Korawa untuk menuntut bagian kerajaan.  Perundingan tersebut tampaknya tidak menemui kata sepakat sehingga meletuslah perang di antara Pāņdawa dan Korawa.  Silih berganti kedua belah pihak mengajukan jago-jago terbaiknya sebagai panglima tertinggi pemimpin pasukan.  Lama-kelamaan posisi Korawa semakin terjepit sampai akhirnya berhasil dikalahkan dan tumpas hingga ke akarnya.  Cerita berakhir dengan kenaikan Kŗşņa beserta para Pāņdawa ke surga hingga akhirnya tibalah zaman Kali dan Wişnu kembali menjelma dalam diri Raja Jayabhaya guna memulihkan perdamaian dan kesejahteraan di Pulau Jawa.

SERAT BRATAYUDA

Telah disinggung pada bagian Pengantar bahwa SB merupakan gubahan Kyai Yasadipura.  Seperti halnya beberapa karya Kyai Yasadipura lainnya, SB dapat dikatakan sebagai “tafsir” dari KB.  Seakan sudah menjadi kegemaran, Kyai Yasadipura dan putranya yang juga bernama Kyai Yasadipura (II), tampaknya kerap menafsirkan kembali karya-karya sastra zaman Jawa Kuna dan Jawa Tengahan seperti Arjunawiwaha, Rama Jarwa, dan Panitisastra.  Kegiatan ini seperti telah disinggung di atas memang dapat dipandang sebagai upaya pendokumentasian dan preservasi atas kandungan isi karya-karya klasik Jawa.  Akan tetapi, akibat kurang maksimalnya penguasaan ayah-anak penyair ini akan Bahasa Jawa Kuna, akhirnya terjadilah semacam reinterpretasi yang seringkali mencuat jauh dari makna aslinya dalam KB.

Poerbatjaraka dalam Kapustakan Djawi beberapa kali menyoroti “rumpang-rumpang” dalam karya gubahan Kyai Yasadipura I dan II dengan kalimat-kalimat yang cukup tajam seperti dikutip di bawah ini:
Ugi meh nunggil wantji serat Ramayana ingkang sampun kaaturaken ing wiwitaning pangrembag, inggih dipun-djarwakaken dening Kjahi Jasadipura.  Sanadyan anggenipun andjarwakaken wau, inggih kerep namung gagap-gagap kemawon,......dst.
Terjemahan bebas:
Dalam waktu yang hampir bersamaan, Serat Ramayana yang telah disebutkan pada bagian awal juga ditafsirkan oleh Kyai Yasadipura.  Meskipun seringkali proses penafsiran dilakukan secara meraba-reka saja,......dst.
Kutipan yang menyebutkan mengenai kelemahan Kyai Yasadipura dalam menggubah tafsir karya sastra Jawa Kuna tersebut dilanjutkan sebagai berikut:
Anggenipun saketja punika awit, pundi-pundi panggenan ing babon ingkang Kjahi mboten mangertos, ladjeng dipun-tilar dipun-santuni saprajoginipun ingkang mboten ambibrahaken aluraning tjarijos.  Kadosta bab rerenggan sapanunggilanipun.
Nanging ing panggenan ingkang prelu, ingkang boten kenging dipun-tilar, mangka Kjahinipun mboten patos mangretos, punika inggih ladjeng ketingal tjetha bilih gagap-gagap, ladjeng kerep dipun-greba, temahan kelintu panjuraosipun.
Terjemahan bebas:
Dikatakan seenaknya karena pada bagian-bagian di mana Sang Kyai tidak paham lalu ditinggalkan dan digantikan sedemikian rupa sehingga sedapat mungkin tetap tidak mengacaukan alur cerita seperti misalnya bagian deskripsi hiasan-hiasan (puji-pujian?) dan sebagainya.
Sedangkan pada bagian yang penting dan tidak boleh ditinggalkan begitu saja tetapi Sang Kyai tidak terlalu paham kemudian terlihat bahwa ia seperti hanya meraba-raba saja, sehingga seringkali hanya diterka saja sampai akhirnya salahlah pemaknaannya.
Akan tetapi, Poerbatjaraka tetap mengakui kepandaian Kyai Yasadipura dalam bermain kata dan keterampilannya dalam menggubah tembang sehingga dapat tetap taat aturan metrum namun tetap memiliki kualitas kebahasaan yang luar biasa indah.

Disebabkan minimnya data yang ada, tidak dapat diketahui adegan apakah yang mengawali SB karena Poerbatjaraka sendiri tidak memberi keterangan yang memadai mengenai ikhtisar isi SB.  Sepanjang yang dapat ditelusuri melalui petikan SB yang dialihaksarakan oleh Darusuprapta yang mulai dengan bagian XV sampai dengan XXI, SB berawal dari akan dimulainya perang antara Pandhawa melawan Korawa yang dipimpin oleh Resi Bisma dan diakhiri dengan adegan kematian Abimanyu yang mengakibatkan kesedihan bagi Arjuna, ayahnya, dan seluruh keluarga Pandhawa sampai dengan persiapan bela pati Siti Sundari atas kematian Abimanyu, suaminya.

Jika kita membaca karya Kyai Yasadipura, terutama SB yang tengah dibahas ini, kita akan menemukan satu bacaan dalam balutan tembang macapat yang indah dan mengalir.  Terbukti Kyai Yasadipura memang ahli dalam memilih kata, dan tampaknya memang ia memiliki perbendaharaan kata dalam Bahasa Jawa yang demikian luas serta kehalusan rasa yang membuatnya mampu merangkai suatu cerita sehingga terasa demikian hidup dan indah.  Tak lupa pada tiap-tiap akhir pupuh atau bab, Kyai Yasadipura selalu mempergunakan sasmitaning tembang atau tanda berupa kalimat atau gugus kata yang merujuk pada metrum tembang pada bab berikutnya.

Berikut akan dikutip salah satu bagian dari SB yang menunjukkan keterampilan Kyai Yasadipura dalam berolahkata:
//Lumreng tawang djawata ngudani/ wewangi rum mawor/ kembang-kembang kombang manut akeh/ maledug baris Korawa wiwrin/ larut tan mapulih/ keh prawira lampus//
Terjemahan bebas:
Dari langit para dewa menghujani dengan bunga-bunga yang semerbak harum hingga mengundang kumbang dalam jumlah yang banyak.  Barisan Korawa bubar dengan rasa takut, tiada yang berkeinginan untuk kembali ke medan perang.  Banyak perwira yang mati.  (SB XVII: 2).
Serta pada pupuh yang sama bait 15 sebagai berikut:
//Wetuning wulan sampun binasmi/ musnane kang lajon/ marang lokabuwana awune/ kuneng wau ing dina sawidji/ ari kawlas asih/ dina nggoning wujung//
Kutipan terakhir sengaja tidak diterjemahkan dengan alasan agar tidak “mengganggu” kenikmatan dalam merasakan manis dan indahnya jalinan kata hasil olahan Kyai Yasadipura saat menggambarkan syahdunya suasana saat gugurnya Resi Bisma.

DARI KAKAWIN BHĀRATAYUDDHA KE SERAT BRATAYUDA
Bagian ini akan dimulai dengan pembahasan selintas tentang seberapa besar keterkaitan kisah dalam KB dengan sumber-sumbernya yang lebih tua (parwa-parwa) dan tentunya Mahābhārata.  Setelah itu, baru kemudian kita akan masuk pada bagaimana Kyai Yasadipura mereinterpretasikan KB sehingga lahirlah SB.  Seberapa banyak “rumpang” yang dengan tanpa sengaja telah dibuat oleh Kyai Yasadipura yang mengakibatkan adanya perbedaan-perbedaan atas kisah atau bagian kisah dalam KB yang kemudian lestari dalam ingatan masyarakat Jawa hingga saat ini.

Untuk dapat mengkaji permasalahan pertama dalam bagian ini, penjelasan dari Zoetmulder dalam Kalangwan akan menjadi pegangan yang utama. Zoetmulder menjelaskan bahwa isi KB bersumber pada Udyogaparwa pada bagian persiapan pertempuran agung sampai dengan Sauptikaparwa, pembantaian para perwira Pāņdawa di malam sesudah pertempuran.  Disebabkan oleh adanya konvensi kakawin yang membatasi panjang sebuah kakawin, sudah barang tentu terjadi pemotongan bagian cerita yang cukup drastis terjadi dalam KB.  Akan tetapi, pengarang KB tampaknya cukup cermat untuk tetap mempertahankan struktur pokok cerita dan bahkan memberikan porsi yang lebih besar untuk puncak-puncak dramatis dengan menghilangkan hal-hal yang kurang penting dan digresi-digresi.  Di lain pihak, tuntutan tradisi kakawin dan tuntutan tampilnya sifat kalangőn membuat penyair KB memberikan tambahan-tambahan secukupnya yang tidak mengubah alur utama cerita seperti pada deskripsi alam saat Kŗşņa tiba di Hāstina dan pada bagian peperangan Abimanyu yang demikian heroik dan legendaris.

Namun demikian, Zoetmulder rupanya menangkap pula beberapa penyimpangan yang terjadi dalam KB yang tidak sesuai dengan kisah dalam Mahābhārata.  Penyimpangan ini tampak misalnya pada bagian ketika Śweta diangkat sebagai panglima bagi pasukan Pāņdawa.  Ketika akhirnya Śweta gugur di tangan Bhīşma, posisinya kemudian digantikan oleh Dhŗşţadyumna.  Kisah ini menjadi berbeda dalam Mahābhārata karena di sana jabatan panglima tertinggi dipegang oleh Dhŗşţadyumna.  Śweta bukanlah tokoh penting.

Demikian pula pada bagian ketika Aśwatthāmā menyerang Pāņdawa untuk membalas dendam atas kematian Drona, dalam KB terjadi kebingungan cerita yang hanya dapat dipecahkan jika kita membaca sumber aslinya yaitu Mahābhārata, yaitu mengapa Kŗşņa menyuruh para perwira turun dari kereta dan berdiam adalah karena senjata Nārāyana hanya menyerang mereka yang aktif berperang dan tidak akan berefek pada mereka yang berdiam.  Penjelasan ini tidak dapat ditemukan dalam KB.  Selanjutnya yang terjadi adalah bagian-bagian yang membutuhkan penjelasan namun tidak dijelaskan dalam KB.

Uniknya, penyimpangan-penyimpangan tersebut terjadi pada bagian yang digubah oleh Mpu Sedah.  Sedangkan Mpu Panuluh dapat dikatakan dibebaskan untuk dapat melanjutkan bagian yang disisakan oleh Mpu Sedah.  Zoetmulder mengemukakan sebuah kemungkinan bahwa hal tersebut memang telah menjadi kehendak Raja Jayabhaya.

Permasalahan berikutnya adalah mengenai penyimpangan yang terjadi pada SB.  Untuk dapat mengkaji permasalahan ini saya menjadikan uraian Poerbatjaraka dalam Kapustakan Djawi sebagai rujukan yang utama.  Penyimpangan pertama dalam SB yang dicatat oleh Poerbatjaraka adalah mengenai tokoh Sagotra yang “tanpa sengaja” diciptakan oleh Kyai Yasadipura dalam SB sebagai seorang tokoh bambang atau pemuda gunung yang karena rumahtangganya telah diselamatkan oleh Arjuna maka ia pun berjanji untuk mengorbankan dirinya dalam perang Baratayuda untuk Pandhawa.  Padahal, dalam teks KB tokoh Sagotra tidak pernah ada.  Hal ini terjadi karena pembacaan yang salah oleh Kyai Yasadipura.

Selanjutnya adalah munculnya tokoh Begawan Sapwani atau Begawan Sempani yang oleh Kyai Yasadipura diinterpretasikan sebagai nama ayah Jayadrata, tokoh pembunuh Abimanyu, yang pada KB tidak pernah dikenal.  Lagi-lagi kesalahan Kyai Yasadipura dalam membaca teks KB telah membuatnya menciptakan kondisi “salah kaprah” atas kisah Baratayuda.  Bacaan yang seharusnya dibaca teka mara ye kisapwani bapanya oleh Kyai Yasadipura dibaca dengan pemenggalan yang keliru yeki sapwani bapanya.

Kesalahan membaca kembali berulang beberapa kali hingga muncullah nama Tutuka sebagai nama lain dari Gathutkaca, munculnya tokoh bernama Tuhayata sebagai patih Mandaraka, kesalahan interpretasi bahwa tokoh Pancawala adalah nama seorang tokoh padahal dalam KB, Pancawala merupakan istilah untuk menyebut kelima anak para Pandhawa dari Dewi Drupadi tanpa diperikan namanya masing-masing.  Kemudian munculnya tokoh Sanga Sanga sebagai putra Satyaki juga bersumber dari kesalahan Kyai Yasadipura dalam memenggal kata yang seharusnya dipenggal Sang Asanga yang berarti mereka bersembilan yang merujuk pada putra Satyaki yang berjumlah sembilan orang tanpa diperikan namanya satu demi satu.

PENUTUP
Demikianlah apa yang dapat disajikan tentang selintas kajian mengenai transformasi teks dari KB ke SB.  Sekali lagi terbatasnya waktu dan data yang dapat dijangkau untuk dirujuk membuat kajian ini menjadi kurang komprehensif.  Akan tetapi, dari kajian ini diharapkan dapat turut memberikan informasi pada pihak-pihak yang berkepentingan terutama kalangan akademis mengenai transformasi yang terjadi atas teks SB yang bersumber pada KB.

Kita tentunya tidak dapat menyalahkan mendiang Kyai Yasadipura karena kealpaannya yang menyebabkan terjadinya penyimpangan permanen atas kisah Baratayuda.  Bagaimanapun perlu ditandaskan kembali bahwa kita patut memberi penghargaan pada penggubah SB yang telah berjasa menyelamatkan kandungan KB yang nyata merupakan karya sastra monumental yang dimiliki oleh bangsa ini.  Atau dapat ditawarkan pula bahwa lepas dari penyimpangan yang terjadi akibat kurangnya penguasaan Kyai Yasadipura atas Bahasa Jawa Kuna, kita dapat melihat perbedaan-perbedaan yang ada pada SB sebagai warna baru yang mewakili kreativitas, inovasi, dan semangat budaya pada zamannya.  Lebih jelasnya, mari kita lihat SB sebagai hasil olah cipta Kyai Yasadipura yang terinspirasi dari KB.

Nyatanya, hingga saat ini SB menjadi patokan bagi para seniman wayang untuk mempergelarkan kisah-kisah di seputar peperangan legendaris bernama Baratayuda.  Tentunya selalu ada kemungkinan bahwa jika Kyai Yasadipura tidak berinisiatif untuk “memindahkan” isi KB ke dalam SB gubahannya, barangkali generasi di masa ini tidak akan pernah mengenal cerita yang demikian indah dan sarat makna ini, dan tidak akan pernah ada penggalian nilai-nilai dari kisah yang demikian inspiratif ini.

Wacana dan kajian mengenai transformasi teks KB ke SB tentunya dapat menjadi sebuah kajian yang panjang yang membutuhkan ketersediaan ruang, waktu, data, dan keahlian yang memadai.  Semoga di masa yang akan datang dapat dibuat lagi kajian yang lebih mendalam dan menyeluruh tentang transformasi teks KB ke SB.

DAFTAR BACAAN:
Darusuprapta, Drs. (ed).  tt.  Serat Bratajuda.
Poerbatjaraka, Prof. Dr. R.M.Ng.  1952.  Kapustakan Djawi.  Jakarta: Djambatan.
Supomo, S.  1993.  Bhāratayuddha An old Javanese Poem and its Indian Sources.  New Delhi:  International Academy of Indian Culture.
Wirjamartana, I. Kuntara dalam Riris K. Toha-Sarumpaet (ed.).  2007.  Ungkapan Formulaik dalam Kakawin Bhāratayuddha.  Jakarta:  YOI.
Wirjosuparto, Prof. Dr. R.M. Sutjipto.  1968.  Kakawin Bharata-Yuddha.  Jakarta: Bhratara.
Zoetmulder, P.J.  1994.  Kalangwan Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang.  Jakarta: Djambatan.  


Saturday, April 6, 2013

Patine Dino sebagai pedoman waktu bepergian merupakan bagian adat jawi



Kitab Chentini  diriwayatkan ketika Mas Cebo  ingin meninggalkan Padepokan Ki Ajar Amat Tengara di Ngeksigondo. Maka segeralah Mas Cebo  pamitan dengan Ki Ajar.
”Jika Sang Wiku menyetujui, besok pagi saya meninggalkan Ngeksiganda”
Sang Wiku, sebutan Ki Amat Tengara mengangguk-angguk, ia menyarankan jika ingin berpergian, perlulah kiranya untuk menghitung arahnya, karena hal tersebut dipercaya berkaitan dengan keselamatan seseorang yang hendak berpergian. Selanjutnya Sang Wiku Ki Ajar Amat Tengara membeberkan perhitungan arah berpergian berdasarkan ilmu TITEN yang sudah ada, tinggalan para leluhur Kina.

Senin = 4
Selasa = 3
Rabu = 7
Kamis = 8
Jumat = 6
Sabtu = 9
Minggu = 5

Kliwon = 8
Legi = 5
Paing = 9
Pon = 7
Wage = 4
Ke Timur = 1
Ke Selatan = 2
Ke Barat = 3
Ke Utara = 4

Contoh :
Jika mau berpergian pada hari Minggu Wage, agar selamat tidak menemui halangan satu pun, perlu menghindari arah yang pada hari Minggu Wage pengaruhnya tidak baik atau disebut Pati Dina Minggu Wage.

Cara menghitungnya adalah:

Minggu Wage. Minggu = 5 dan Wage = 4, jumlahnya = 9
Angka sembilan dihitung mulai dari angka satu (Timur), dua (Selatan), tiga (Barat), empat (Utara) dan angka lima kembali ke (Timur), enam (Selatan), tujuh ( Barat), delapan (Utara), dan angka sembilan kembali ke Timur lagi.

Jadi untuk Pati Dina Minggu Wage yang berjumlah sembilan adalah arah Timur. Disarankan jika mau berpergian pada hari Minggu Wage jangan ke arah Timur, karena banyak halangannya. Namun Jika terpaksa pada Hari Minggu Wage harus berpergian ke arah Timur, dapat disiasati dengan cara, waktu keluar Rumah jangan mengarah ke arah Timur.

Tulisan terdahulu telah dihitung bagi yang mau berpergian pada hari Minggu Wage. Dengan rumus yang ada, Minggu = 5 dan Wage = 4, jumlahnya = 9 Angka sembilan dihitung mulai dari angka satu (Timur), dua (Selatan), tiga (Barat), empat (Utara) dan angka lima kembali ke (Timur), enam (Selatan), tujuh ( Barat), delapan (Utara), dan angka sembilan kembali ke Timur.

Dengan perhitungan tersebut, jika mau berpergian pada hari Minggu Wage, sebaiknya tidak ke arah Timur. Karena arah Timur bagi yang mau berpergian pada hari Minggu Wage pengaruhnya tidak baik atau disebut Pati Dina. Selengkapnya adalah untuk:

Pati Dina arah Timur adalah:

Hari dan Pasaran yang berjumlah 9 yaitu : Minggu Wage dan Senin Legi.
Hari dan Pasaran yang berjumlah 13 yaitu : Senin Paing, Minggu Kliwon, Kemis Legi, Jumat Pon, Sabtu Wage,
Hari dan Pasaran yang berjumlah 17, yaitu : Kamis Paing dan Sabtu Kliwon,

Pati dina arah Selatan adalah:

Hari dan Pasaran yang berjumlah 10 yaitu: Selasa Pon, Jumat Wage dan Minggu Legi
Hari dan Pasaran yang berjumlah 14, yaitu : Rabo Pon, Jumat Kliwon, Sabtu Legi dan Minggu Paing.

Pati Dina arah Barat adalah :

Hari dan Pasaran yang berjumlah 7, yaitu : Selasa Wage
Hari dan Pasaran yang berjumlah 11, yaitu : Senin Pon, Selasa Kliwon, Rabu Wage dan Jumat Legi
Hari dan Pasaran yang berjumlah 15, yaitu : Rebo Kliwon, Kamis Pon dan Jumat Paing.

Pati Dina arah Utara adalah :

Hari dan Pasaran yang berjumlah 8, yaitu: Senin Wage dan Selasa Legi
Hari dan Pasaran yang berjumlah 12, yaitu : Minggu Pon, Senin Kliwon, Selasa Paing, Rabu Legi dan Kamis Wage
Hari dan Pasaran yang berjumlah 16, yaitu: Rebo Paing, Kamis Kliwon dan Sabtu Pon.

Pati Dina ditengah adalah : Sabtu Paing.

Sumber : Serat Centhini jilid 3, Pupuh 184, pada 41 dengan jenis tembang Pupuh pucung

PETUNG SALAKI RABI ATAU BAB PERJODOAN ( PERNIKAHAN )



Dalam melakukan hajat perkawinan, mendirikan rumah, bepergian dan sebagainya. Kebanyakan orang jawa dahulu, mendasarkan atas hari yang berjumlah 7(senin-minggu) dan pasaran yang jumlahnya ada 5, tiap hari tentu ada rangkapannya pasaran, jelasnya : tiap hari tentu jatuh pada pasaran tertentu.

Masing-masing hari dan pasaran mempunyai ”neptu ”, yaitu ”nilai” dengan angkanya sendiri-sendiri sebagai berikut :
Nama hari = Neptu ( nilai )

1. Ahad = 5
2. Senen = 4
3. Selasa = 3
4. Rabu = 7
5. Kamis = 8
6. Jum’at = 6
7. Sabtu = 9
Nama Pasaran Neptu (nilai )

1. Legi = 5
2. Paing = 9
3. Pon = 7
4. Wage = 4
5. Kliwon = 8
Neptu hari atau pasaran kelahiran untuk perkawinan


Hari dan pasaran dari kelahiran dua calon temanten yaitu anak perempuan dan anak lelaki masing-masing dijumlahkan dahulu, kemudian masing masing dibuang (dikurangi) sembilan.

Misalnya :

Kelahiran anak perempuan adalah hari Jumat (neptu 6) wage (neptu 4) jumlah 10, dibuang 9 sisa 1

Sedangkan kelahiran anak laki-laki ahad (neptu 5) legi (neptu 5) jumlah 10 dikurangi 9 sisa 1.

Menurut perhitungan dan berdasarkan sisa diatas maka perhitungan seperti dibawah ini:
Apabila sisa:

1 dan 4 : banyak celakanya
1 dan 5 :bisa
1 dan 6 : jauh sandang pangannya
1 dan 7 : banyak musuh
1 dan 8 : sengsara
1 dan 9 : menjadi perlindungan

2 dan 2 : selamat, banyak rejekinya
2 dan 3 : salah seorang cepat wafat
2 dan 4 : banyak godanya
2 dan 5 : banyak celakanya
2 dan 6 : cepat kaya
2 dan 7 : anaknya banyak yang mati
2 dan 8 : dekat rejekinya
2 dan 9 : banyak rejekinya
3 dan 3 : melarat
3 dan 4 : banyak celakanya
3 dan 5 : cepat berpisah
3 dan 6 : mandapat kebahagiaan
3 dan 7 : banyak celakanya
3 dan 8 : salah seorang cepat wafat
3 dan 9 : banyak rejeki
4 dan 4 : sering sakit
4 dan 5 : banyak godanya
4 dan 6 : banyak rejekinya
4 dan 7 : melarat
4 dan 8 : banyak halangannya
4 dan 9 : salah seorang kalah


5 dan 5 : tulus kebahagiaannya
5 dan 6 : dekat rejekinya
5 dan 7 : tulus sandang pangannya
5 dan 8 : banyak bahayanya
5 dan 9 : dekat sandang pangannya


6 dan 6 : besar celakanya
6 dan 7 : rukun
6 dan 8 : banyak musuh
6 dan 9 : sengsara
7 dan 7 : dihukum oleh istrinya
7 dan 8 : celaka karena diri sendiri
7 dan 9 : tulus perkawinannya

8 dan 8 : dikasihi orang
8 dan 9 : banyak celakanya

9 dan 9 : liar rejekinya

Neptu hari dan pasaran dari kelahiran calon mempelai laki-laki dan perempuan, ditambah neptu pasaran hari perkawinan dan tanggal (bulan Jawa) semuanya dijumlahkan kemudian dikurangi/ dibuang masing tiga, apabila masih sisa :

1 = berarti tidak baik, lekas berpisah hidup atau mati

2 = berarti baik, hidup rukun, sentosa dan dihormati

3 = berarti tidak baik, rumah tangganya hancur berantakan dan kedua-duanya bisa mati.


Neptu hari dan pasaran dari kelahiran calon mempelai laki-laki dan perempuan, dijumlah kemudian dikurangi / dibuang empat-empat apabila sisanya :

1 = Getho, jarang anaknya,
2 = Gembi, banyak anak,
3 = Sri banyak rejeki,
4 = Punggel, salah satu akan mati
Hari kelahiran mempelai laki-laki dan mempelai wanita, apabila :

Ahad dan Ahad, sering sakit
Ahad dan Senin, banyak sakit
Ahad dan Selasa, miskin
Ahad dan Rebo, selamat
Ahad dan Kamis, cekcok
Ahad dan Jumat, selama
Ahad dan Sabtu, miskin

Senen dan Senen, tidak baik
Senen dan Selasa, selamat
Senen dan Rebo, anaknya perempuan
Senen dan Kamis, disayangi
Senen dan Jumat, selamat
Senen dan Sabtu, direstui

Selasa dan Selasa, tidak baik
Selasa dan Rebo, kaya
Selasa dan Kamis, kaya
Selasa dan Jumat, bercerai
Selasa dan Sabtu, sering sakit

Rebo dan Rebo, tidak baik
Rebo dan Kamis, selamat
Rebo dan Jumat, selamat
Rebo dan Sabtu, baik


Kamis dan Kamis, selamat
Kamis dan Jumat, selamat
Kamis dan Sabtu, celaka

Jumat dan Jumat, miskin
Jumat dan Sabtu celaka

Sabtu dan Sabtu, tidak baik

Memilih Saat Ijab, Ijab kabul yang unik

Dalam perkawinan Dra. Pharmasi Endang Ontorini Udaya dengan Sutrisno Sukro di Sala, ayah penggantin putri Bpk. Samsuharya Udaya telah memilih saat ijab kabul secara unik, yaitu pada malam Ahad Legi (27 Mei 73) jam 2.30 pagi.

Ketetapan itu didasarkan saat lahirnya temanten putri. Segala waktunya berjalan baik, lancar dan selamat.

Mungkin hal tersebut suatu ajaran : kalau tidak memakai perhitungan, pakailah hari kelahiran untuk hal-hal yang penting pindah rumah dsb.

Hari yang membawa kelahirannya selamat, demikian pulalah untuk hal lain-lain dalam hidupnya.

HARI-HARI UNTUK MANTU DAN IJAB PENGANTIN

(baik buruknya bulan untuk mantu):

1. Bulan Jw. Suro : Bertengkar dan menemui kerusakan (jangan dipakai)

2. Bulan Jw. Sapar : kekurangan, banyak hutang (boleh dipakai)

3. Bulan Jw Mulud : lemah, mati salah seorang (jangan dipakai)

4. Bulan jw. Bakdamulud : diomongkan jelek (boleh dipakai)

5. Bulan Jw. Bakdajumadilawal : sering kehilangan, banyak musuh (boleh dipakai)

6. Bulan Jw. Jumadilakhir : kaya akan mas dan perak

7. Bulan Rejeb : banyak kawan selamat

8. Bulan Jw. Ruwah : selamat

9. Bulan puasa : banyak bencananya (jangan dipakai)

10. Bulan Jw. Syawal : sedikit rejekinya, banyak hutang (boleh dipakai)

11. Bulan Jw. Dulkaidah : kekurangan, sakit-sakitan, bertengkar dengan teman (jangan dipakai)

12. Bulan Jw. Besar : senang dan selamat

BULAN TANPA ANGGARA KASIH

Hari anggara kasih adalah selasa kliwon, disebut hari angker sebab hari itu adalah permulaan masa wuku. Menurut adat Jawa malamnya (senin malam menghadap) anggara kasih orang bersemedi, mengumpulkna kekuatan batin untuk kesaktian dan kejayaan. Siang harinya (selasa kliwon) memelihara, membersihkan pusaka wesi aji, empu mulai membikin keris dalam majemur wayang.

Bulan – bulan anggoro kasih tidak digunakan untuk mati, hajat-hajat lainnya dan apa saja yang diangggap penting.

Adapun bulan-bulan tanpa anggara kasih adalah:

1. dalam tahun Alib bulan 2 : Jumadilakhir dan besar
2. dalam tahun ehe bulanl 2 dan : jumadilakhir
3. dalam tahun jimawal bulan 2 : Suro dan rejeb
4. dalam tahun Je bulan 2 : Sapar
5. dalam tahun Dal bulan 2 : yaitu sapar dan puasa
6. dalam tahun Be bulan 2 : mulud dan syawan
7. dalam tahun wawu bulan 2 : Bakdomulud/syawal
8. dalam tahuin Jimakir bulan 2 : Jumadilawal dan Dulkaidkah

SAAT TATAL

Saat tatal dibawah ini untuk memilih waktu yang baik untuk mantu juga untuk pindah rumah, berpergian jauh dan memulai apa saja yang dianggap penting.

Kerentuan saat itu jatuh pada pasaran (tidak pada harinya ) :

1. pasaran legi : mulai jam 06.00 nasehet.mulai jam 08.24 Rejeki : mulai jam 25.36 rejeki mulai dri jam 10 48 selamat, mulai jam 13.12 pangkalan atau (halangan) mulai jam 15.36 pacak wesi

2. pasaran pahing : mulai jam 06.00 rejeki, jam 08.24 selamat, jam 10.48 pangkalan, jam 13.12 pacak wesi, jam 15.36 nasehat.

3. pasaran pon : mulai jam 06.00 selamat, jam 08.24 pangkalan, jam 10.48 pacak wesi, jam 13.12 nasehat, jam 15.36 rejeki

4. pasaran wage mulai jam 06.00 pangkalan, jam 08.24 pacak wesi, jam 13.12 nasehat jam 15.36 selamat.

5. pasaran kliwon, mulai jam 06.00 pacak wesi, jam 08.24 nasehat, jam 10.48 rejeki, jam 13-12 selamat jam 13.36 pangkalan.

HARI PASARAN UNTUK PERKAWINAN

Neptu dan hari pasaran dijumlah kemudian dikurangi/dibuang enam-enam apabila tersisa:

1 jatuh, mati, (tidak baik) asalnya bumi
2 jatuh, jodoh (baik) asalnya jodoh dengan langit
3 jatuh , selamat atau baik asalnya barat
4 jatuh, cerai atau tidak baik asalnya timur
5 jatuh, prihatin (tidak baik) asalnya selatan
6 jatuh, mati besan (tidak baik) asalnya utara


Dalam berdagang orang jawa mempunyai petungan (prediksi) khusus untuk mencapai sukses atau mendapatkan angsar (pengaruh nasib) yang baik, sehingga menjadikan rezekinya mudah. Diantaranya petungan tersebut sebagai berikut :

Dalam “kitab primbon” (pustaka kejawen) terdapat berbagai cara dan keyakinan turun-temurun yang harus dilakukan orang yang akan melakukan kegiatan usaha perdagangan. Untuk memulai suatu usaha perdagangan orang jawa perlu memilih hari baik, diyakini bahwa berawal dari hari baik perjalanan usahapun akan membuahkan hasil maksimal, terhindar dari kegagalan.

Menurut pakar ilmu kejawen abdi dalem Karaton Kasunanan Surakarta, Ki KRM TB Djoko MP Hamidjoyo BA bahwa berdasarkan realita supranatural, menyiasati kegagalan manusia dalam usaha perlu diperhatikan. Prediksi menurut primbon perlu diperhatikan meski tidak sepenuhnya diyakini. Menurut Kitab Tafsir Jawi, dina pitu pasaran lima masing-masing hari dan pasaran karakter baik. Jika hari dan pasaran tersebut menyatu, tidak secara otomatis menghasilkan karakter baik. Demikian juga dengan bulan suku, mangsa, tahun dan windu, masing-masing memiliki karakter baik kalau bertepatan dengan hari atau pasaran tertentu.

Golek dina becik (mencari hari yang baik) untuk memulai usaha dagang pada hakekatnya adalah mencari perpaduan hari, pasaran, tahun, windu dan mangsa yang menghasilkan penyatuan karakter baik. Misalnya pada hari rebo legi mangsa kasanga tahun jimakir windu adi merupakan penyatuan anasir waktu yang menghasilkan karakter baik.

Menurut Ki Djoko, suatu karya yang terjadi pada hari yang karakternya tidak baik, diperkirakakan karakter itu akan mengganggu usaha yang dilakukan. Akibatnya usaha dagangnya juga banyak kendala, bahkan mengalami kegagalan.

Aura pencemar tersebut dalam primbon disebut naas, sangar tahun, sangar sasi dan sangar dina. Sedangkan anasir pencemar tersebut dikenal sebagai naga dina, naga tahun dan sebagainya. Menurut Ki Djoko sampai kapan pun kebiasaan atau tradisi memilih dina becik (hari baik) seyogyanya dilakukan. Tentunya kalau tidak ingin berspekulasi dengan resiko kegagalan.

Setiap karya akan berhasil sesuai dengan kodrat, jika dilakukan dalam kondisi waktu yang netral dari pencemaran, sengkala maupun sukerta. Manusia diberi kesempatan oleh Tuhan untuk beriktiar menanggulangi sukerta dan sengkala dengan melakukan wiradat. Misalnya dengan ruwatan atau dengan ajian rajah kalacakra, sehingga kejadian buruk tidak menjadi kenyataan.

Orang yang akan membuka usaha pun dapat melakukan upaya sendiri pada malam hari sebelum memulai usaha, yaitu berdoa mendasari doa kepada Tuhan sambil mengucapkan mantera rajah kalacakra Salam, salam, salam Yamaraja jaramaya, yamarani niramaya, yasilapa palasiya, yamidora radomiya, yamidasa sadamiya, yadayuda dayudaya, yasilaca silacaya, yasihama mahasiya. Kemudian menutup dengan mantera Allah Ya Suci Ya Salam sebanyak 11 kali.

Untuk usaha perdagangan orang jawa yang masih percaya pada petung, akan menggunakannya baik untuk menentukan jenis barang maupun tempat berdagang dan sebagainya. Petung tersebut didasarkan weton (kelahiran dari yang bersangkutan)

Menurut Dosen Jurusan Sastra Daerah - Fakultas Sastra UNS Drs. Usman Arif Mpd, peluang merupakan filsafat kosmosentris bahwa manusia dan alam tidak dapat dipisahkan. Manusia merupakan bagian dari alam semesta sehingga geraknya tidak dapat lepas dari gerak alam, sebagaimana waktu dan arah mata angin.

Orang jawa mempunyai keyakinan bahwa saat dilahirkan manusia tidak sendirian karena disertai dengan segala perlengkapannya. Perlengkapan itu merupakan sarana untuk bekal hidup dikemudian hari, yaitu bakat dan jenis pekerjaan yang cocok. Di dalam ilmu kejawen kelengkapan itu dapat dicari dengan petung hari lahir, pasaran, jam, wuku tahun dan windu.

Menurut Usman petung sekedar klenik atau gugon tuhon melainkan merupakan hasil analisa dari orang-orang jawa pada masanya. Hasil analisa itu ditulis dalam bentuk primbon. Dengan petungan jawa, orang dapat membuat suatu analisa tentang anak yang baru lahir berdasarkan waktu kelahirannya. Misalnya anak akan berhasil jika menjadi wartawan, atau sukses jika menjadi pedagang.

Petung yang demikian itu juga digunakan di dalam dunia perdagangan. Orang jawa masih mempercayainya, akan menggunakan petung dengan cermat. Dari menentukan jenis dagangan waktu mulai berdagang diperhitungkan. Semua sudah ada ketentuannya berdasar waktu kelahiran yang bersangkutan.

Penerapan petung untuk usaha perdagangan akan menambah kemungkinan dan percaya diri untuk meraih sukses. Kepercayaan diri akan membuat lebih tepat dalam mengambil keputusan. Prediksi menurut petung di dalam perdagangan bukan hanya ada pada budaya orang jawa saja. Dalam budaya Cina misalnya, hingga kini perhitungan itu masih berperan besar, sekali pun pengusaha Cina itu sudah menjadi konglomerat.

Di Cina petung itu ada dalam Kitab Pek Ji atau Pak Che (delapan angka) yang juga berdasarkan kelahiran seseorang, yaitu tahun kelahiran memiliki nilai 2, bulan nilai 2, hari memiliki nilai 2 dan jam kelahiran nilai 2.

Meskipun orang lahir bersamaan waktu, rezeki yang diperoleh tidak sama karena yang satu menggunakan petung sedangkan yang lainnya tidak.

Banyak pula orang yang tidak mempercayai petung. Mereka menganggapnya klenik atau tahayul. Mereka berpendapat dengan rasionya dapat manipulasi alam. Anggapan demikian belum pas, meskipun manusia dapat merekayasa, alam ternyata akan berjalan sesuai dengan mekanismenya sendiri


Untuk perhitungan mendirikan / pindahan rumah

A. Pertama-tama yg diperhitungakan adalah Bulan Jawa, yaitu :

1. Bulan Sura = tidak baik
2. Bulan Sapar = tidak baik
3. Bulan Mulud (Rabingulawal) = tidak baik
4. Bulan Bakdamulud (Rabingulakir) = baik
5. Bulan Jumadilawal = tidak baik
6. Bulan Jumadilakir = kurang baik
7. Bulan Rejeb = tidak baik
8. Bulan Ruwah (Sakban) = baik
9. Bulan Pasa (Ramelan) = tidak baik
10. Bulan Sawal = sangat tidak baik
11. Bulan Dulkaidah = cukup baik
12. Besar = sangat baik

Berdasarkan perhitungan diatas, bulan yg baik adalah : Bakdamulud, Ruwah, Dulkaidah, dan Besar.

B. Langkah kedua yaitu menghitung jumlah hari dan pasaran dari suami serta istri.

1. Suami = 29 Agustus 1973
- Rabu = 7
- Kliwon = 8
- Neptu (Total) = 15
- Tahun Jawa = 29 Rejeb 1905 TAhun WAWU Windu ADI
- Tahun Hijriah = 30 Rajab 1393 H

2. Istri = 21 Desember 1976
- Selasa = 3
- Kliwon = 8
- Neptu (Total) = 11
- Tahun Jawa = 28 Besar 1908 Tahun EHE Windu KUNTARA
- Tahun Hijriah = 29 Dzulhijah 1396 H

Jumlah Neptu Suami + Istri = 15 + 11 = 36

C. Langkah ketiga, menghitung Pancasuda.

Jumlah ((Neptu suami + Neptu Istri + Hari Pindahan/Pendirian Rumah) : 5). Bila selisihnya 3, 2, atau 1 itu sangat baik. Cara ini disebut PANCASUDA.

PANCASUDA :
1. Sri = Rejeki Melimpah
2. Lungguh = Mendapat Derajat
3. Gedhong = Kaya Harta Benda
4. Lara = Sakit-Sakitan
5. Pati = Mati dalam arti Luas

Lalu mengurutkan angka hari pasaran mulai dari jumlah yang paling kecil yaitu (selasa (3) + wage (4) = 7), hingga sampai jumlah yang paling besar yaitu (Sabtu (9) + Pahing (9) = 18.

7 + 36 = 43 : 5 sisa 3 = Cukup Baik
8 + 36 = 44 : 5 sisa 4 = Tidak Baik
9 + 36 = 45 : 5 sisa 5 (yg habis dibagi 5 dianggap sisa 5) = Jelek Sekali
10 + 36 = 46 : 5 sisa 1 = Baik Sekali
11 + 36 = 47 : 5 sisa 2 = Baik
12 + 36 = 48 : 5 sisa 3 = Cukup Baik
13 + 36 = 49 : 5 sisa 4 = Tidak Baik
14 + 36 = 50 : 5 sisa 5 = Jelek Sekali
15 + 36 = 51 : 5 sisa 1 = Baik Sekali
16 + 36 = 52 : 5 sisa 2 = Baik
17 + 36 = 53 : 5 sisa 3 = Cukup Baik
18 + 36 = 54 : 5 sisa 4 = Tidak Baik

Dari paparan tersebut diketahui hari baik untuk mendirikan rumah tinggal, khusus bagi pasangan suami–istri yang hari-pasaran-lahir keduanya berjumlah 36 adalah :

Terbaik 1 :
a. hari-pasaran berjumlah 10 ( Selasa Pon, Jumat Wage dan Minggu Legi)
b. hari-pasaran berjumlah 15 (Rabu Kliwon, Kamis Pon dan Jumat Pahing)

Terbaik 2 :
a. hari-pasaran berjumlah 11 (Senin Pon, Selasa Kliwon, Rabu Wage dan Jumat legi)
b. hari-pasaran berjumlah 16 (Rabu Pahing, Kamis Kliwon dan Sabtu Pon)

Terbaik 3 :
a. hari-pasaran berjumlah 7 (Selasa Wage)
b. hari-pasaran berjumlah 12 (Senin Kliwon, Selasa Pahing, Rabu Legi, Kamis Wage dan Minggu Pon)
c. hari-pasaran berjumlah 17 (Kamis Pahing dan Sabtu Kliwon)

D. Selanjutnya pilih salah satu dari 21 hari baik yang berada dalam bulan Bulan Bakdamulud, Bulan Ruwah, Bulan Dulkaidah dan Bulan Besar,

yaitu:

1. Bulan Bakdamulud (Rabingulakir)
Bulan baik untuk mendirikan sesuatu termasuk rumah tinggal. Keluarga yang bersangkutan mendapat wahyu keberuntungan, apa yang diinginkan terlaksana, cita-citanya tercapai, selalu menang dalam menghadapi perkara, berhasil dalam bercocok-tanam, berkelimpahan emas dan uang, mendapat doa restu Nabi, dan lindungan dari Allah.
2. Bulan Ruwah (Sakban)
Bulan baik untuk mendirikan rumah tinggal. Rejeki melimpah dan halal, disegani, dihormati dan disenangi orang banyak, mendapat doa Rasul.
3. Bulan Dulkaidah
Cukup baik, dicintai anak istri, para orang tua, saudara, dan handaitaulan. Dalam hal bercocok-tanam lumayan hasilnya. Banyak rejeki dan cukup uang. Keadaan keluarga harmonis, tentram, damai dan mendapatkan doa dari Rasul.
4. Bulan Besar.
Baik, banyak mendapat rejeki, berkelimpahan harta-benda dan uang. Anggota keluarga yang berdiam di areal rumah-tinggalnya yang dibangun pada bulan Besar merasakan ketentraman lair batin, serta dihormati.
Terbaik 1 :
1. Selasa Pon,
2. Jumat Wage,
3. Minggu Legi,
4. Rabu Kliwon,
5. Kamis Pon,
6. Jumat Pahing,

Terbaik 2 :
7. Senin Pon,
8. Selasa Kliwon,
9. Rabu Wage,
10. Jumat legi,
11. Rabu Pahing,
12. Kamis Kliwon,
13. Sabtu Pon,
Terbaik 3 :
14. Selasa Wage,
15. Senin Kliwon,
16. Selasa Pahing,
17. Rabu Legi,
18. Kamis Wage,
19. Minggu Pon,
20. Kamis Pahing,
21. Sabtu Kliwon,

Contoh : Jum’at Pahing
- 20 April 2007
- 07 September 2007
- 21 Desember 2007







setting Table of Contents pada Blogger

 Memasang Table of Contents pada Blogger Secara Otomatis Jika anda pengguna CMS WordPress, tentunya sangat mudah untuk membuat Table of Cont...