pc

Monday, April 8, 2013

MENGENAL KISAH BRATAYUDA

Baratayuda, adalah istilah yang dipakai di Indonesia untuk menyebut perang besar di Kurukshetra antara keluarga Pandawa melawan Korawa. Perang ini merupakan klimaks dari kisah Mahabharata, yaitu sebuah wiracarita terkenal dari India.

Istilah Baratayuda berasal dari kata Bharatayuddha (Perang Bharata), yaitu judul sebuah naskah kakawin berbahasa Jawa Kuna yang ditulis pada tahun 1157 oleh Mpu Sedah atas perintah Maharaja Jayabhaya, raja Kerajaan Kadiri. Sebenarnya kitab baratayuda yang ditulis pada masa Kediri itu untuk simbolisme keadaan perang saudara antara Kerajaan Kediri dan Jenggala yang sama sama keturunan Raja Erlangga . Keadaan perang saudara itu digambarkan seolah-olah seperti yang tertulis dalam Kitab Mahabarata karya Vyasa yaitu perang antara Pandawa dan Kurawa yang sebenarnya juga keturunan Vyasa sang penulis

Kisah Kakawin Bharatayuddha kemudian diadaptasi ke dalam bahasa Jawa Baru dengan judul Serat Bratayuda oleh pujangga Yasadipura I pada zaman Kasunanan Surakarta.

Di Yogyakarta, cerita Baratayuda ditulis ulang dengan judul Serat Purwakandha pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwana V. Penulisannya dimulai pada 29 Oktober 1847 hingga 30 Juli 1848., 

"SOURCE : WIKIPEDIA"


KAKAWIN BHĀRATAYUDDHA
Seperti telah dijelaskan pada bagian pengantar, KB merupakan karya sastra Jawa Kuna hasil gubahan Mpu Sedah dan Mpu Panuluh.  Bahasa yang digunakan adalah Bahasa Jawa Kuna dengan menggunakan metrum puisi Jawa Kuna.  Merujuk pada keterangan Poerbatjaraka, KB digubah di masa pemerintahan Raja Jayabhaya di Kediri atau Daha.  Keterangan mengenai hal ini disesuaikan dengan bagian pembukaan KB yang memuat tentang raja yang tengah bertahta dan sebuah kronogram berbunyi sanga-kuda-suddha-candrama atau sang akuda śuddha candramā menurut Zoetmulder yang merujuk pada angka tahun 1079 Çaka atau 1157 Masehi, atau lebih lengkapnya pada hari pertama dalam bulan ketiga yang kemudian menghasilkan tanggal 6 September 1157 Masehi.

Seperti telah dipaparkan pula sebelumnya bahwa baik Gunning maupun Poerbatjaraka sama-sama berpendapat bahwa KB merupakan karya sastra Jawa Kuna yang memiliki kualitas kebahasaan dan kesastraan yang luar biasa baik.  Seakan merasa belum cukup dengan pujian semacam ini atas KB, Gunning sendiri seperti dikutip oleh Poerbatjaraka menyatakan bahwa kualitas KB yang sekelas ini membuatnya pantas untuk disandingkan dengan karya-karya sastra Yunani Kuna.  Boleh jadi pernyataan ini terlalu dilebih-lebihkan oleh Gunning sehingga Poerbatjaraka yang mengutip pernyataan tersebut saja tidak berani menjaminkan ketepatannya.  Akan tetapi ada kemungkinan pula bahwa KB memang karya sastra Jawa Kuna yang benar-benar memiliki keistimewaannya sendiri.  Salah satu keistimewaan KB barangkali adalah adanya ungkapan formulaik seperti pernah diteliti oleh Kuntara Wiryamartana atas pupuh 14 dan 15 KB.  Ungkapan formulaik mengacu pada tulisan Kuntara adalah larik atau setengah larik yang disusun sesuai dengan pola formula.  Formula sendiri berarti kelompok kata yang secara teratur digunakan dalam kondisi matra yang sama untuk mengungkapkan ide tertentu yang hakiki.  Pada KB, masih menurut Kuntara, ungkapan formulaik itu dipergunakan selain untuk memenuhi kaidah metrum juga berfungsi untuk membina cerita seperti menandai batas-batas unit cerita baik episode, sub-episode, maupun bagian yang lebih kecil lagi.  Selain itu, ungkapan formulaik dalam KB juga memiliki fungsi untuk menegarai pembaca, seperti mengarahkan pandangan dan harapan pembaca.

KB merupakan karya persembahan Mpu Sedah dan Mpu Panuluh yang menurut Zoetmulder adalah siswa Jayabhaya dalam hal sastra dan musik.  Mpu Sedah menggubah bagian awal hingga menjelang adegan Salya menjadi panglima tertinggi, sedang Mpu Panuluh meneruskan dari bagian tersebut hingga penutup. Banyak pihak yang mempertanyakan mengapa KB digubah secara estafet oleh dua orang penyair.  Baik Poerbatjaraka maupun Zoetmulder mengetengahkan argumen yang berbeda.  Poerbatjaraka sangat yakin bahwa hal ini dikarenakan terjadinya kesalahan di pihak Mpu Sedah yang mengakibatkan ia dijatuhi hukuman oleh Raja Jayabhaya.  Kesalahan yang dimaksud adalah ketika Mpu Sedah terlibat skandal dengan istri Raja Jayabhaya yang “dipinjamkan” sebagai contoh bagi Mpu Sedah untuk membuat deskripsi mengenai Setyawati istri Salya.  Argumen Poerbatjaraka tersebut dipatahkan oleh Zoetmulder yang membuktikan bahwa mekanisme penggubahan KB dengan dua orang penyair adalah sesuai dengan perintah dan kehendak Raja Jayabhaya.  Cerita Mpu Sedah yang dijatuhi hukuman dianggap sebagai isapan jempol belaka.

Cerita dalam KB dimulai dengan perjalanan Kŗşņa menuju negara Gajāhwaya untuk mewakili Pāņdawa dalam perundingan dengan Korawa untuk menuntut bagian kerajaan.  Perundingan tersebut tampaknya tidak menemui kata sepakat sehingga meletuslah perang di antara Pāņdawa dan Korawa.  Silih berganti kedua belah pihak mengajukan jago-jago terbaiknya sebagai panglima tertinggi pemimpin pasukan.  Lama-kelamaan posisi Korawa semakin terjepit sampai akhirnya berhasil dikalahkan dan tumpas hingga ke akarnya.  Cerita berakhir dengan kenaikan Kŗşņa beserta para Pāņdawa ke surga hingga akhirnya tibalah zaman Kali dan Wişnu kembali menjelma dalam diri Raja Jayabhaya guna memulihkan perdamaian dan kesejahteraan di Pulau Jawa.

SERAT BRATAYUDA

Telah disinggung pada bagian Pengantar bahwa SB merupakan gubahan Kyai Yasadipura.  Seperti halnya beberapa karya Kyai Yasadipura lainnya, SB dapat dikatakan sebagai “tafsir” dari KB.  Seakan sudah menjadi kegemaran, Kyai Yasadipura dan putranya yang juga bernama Kyai Yasadipura (II), tampaknya kerap menafsirkan kembali karya-karya sastra zaman Jawa Kuna dan Jawa Tengahan seperti Arjunawiwaha, Rama Jarwa, dan Panitisastra.  Kegiatan ini seperti telah disinggung di atas memang dapat dipandang sebagai upaya pendokumentasian dan preservasi atas kandungan isi karya-karya klasik Jawa.  Akan tetapi, akibat kurang maksimalnya penguasaan ayah-anak penyair ini akan Bahasa Jawa Kuna, akhirnya terjadilah semacam reinterpretasi yang seringkali mencuat jauh dari makna aslinya dalam KB.

Poerbatjaraka dalam Kapustakan Djawi beberapa kali menyoroti “rumpang-rumpang” dalam karya gubahan Kyai Yasadipura I dan II dengan kalimat-kalimat yang cukup tajam seperti dikutip di bawah ini:
Ugi meh nunggil wantji serat Ramayana ingkang sampun kaaturaken ing wiwitaning pangrembag, inggih dipun-djarwakaken dening Kjahi Jasadipura.  Sanadyan anggenipun andjarwakaken wau, inggih kerep namung gagap-gagap kemawon,......dst.
Terjemahan bebas:
Dalam waktu yang hampir bersamaan, Serat Ramayana yang telah disebutkan pada bagian awal juga ditafsirkan oleh Kyai Yasadipura.  Meskipun seringkali proses penafsiran dilakukan secara meraba-reka saja,......dst.
Kutipan yang menyebutkan mengenai kelemahan Kyai Yasadipura dalam menggubah tafsir karya sastra Jawa Kuna tersebut dilanjutkan sebagai berikut:
Anggenipun saketja punika awit, pundi-pundi panggenan ing babon ingkang Kjahi mboten mangertos, ladjeng dipun-tilar dipun-santuni saprajoginipun ingkang mboten ambibrahaken aluraning tjarijos.  Kadosta bab rerenggan sapanunggilanipun.
Nanging ing panggenan ingkang prelu, ingkang boten kenging dipun-tilar, mangka Kjahinipun mboten patos mangretos, punika inggih ladjeng ketingal tjetha bilih gagap-gagap, ladjeng kerep dipun-greba, temahan kelintu panjuraosipun.
Terjemahan bebas:
Dikatakan seenaknya karena pada bagian-bagian di mana Sang Kyai tidak paham lalu ditinggalkan dan digantikan sedemikian rupa sehingga sedapat mungkin tetap tidak mengacaukan alur cerita seperti misalnya bagian deskripsi hiasan-hiasan (puji-pujian?) dan sebagainya.
Sedangkan pada bagian yang penting dan tidak boleh ditinggalkan begitu saja tetapi Sang Kyai tidak terlalu paham kemudian terlihat bahwa ia seperti hanya meraba-raba saja, sehingga seringkali hanya diterka saja sampai akhirnya salahlah pemaknaannya.
Akan tetapi, Poerbatjaraka tetap mengakui kepandaian Kyai Yasadipura dalam bermain kata dan keterampilannya dalam menggubah tembang sehingga dapat tetap taat aturan metrum namun tetap memiliki kualitas kebahasaan yang luar biasa indah.

Disebabkan minimnya data yang ada, tidak dapat diketahui adegan apakah yang mengawali SB karena Poerbatjaraka sendiri tidak memberi keterangan yang memadai mengenai ikhtisar isi SB.  Sepanjang yang dapat ditelusuri melalui petikan SB yang dialihaksarakan oleh Darusuprapta yang mulai dengan bagian XV sampai dengan XXI, SB berawal dari akan dimulainya perang antara Pandhawa melawan Korawa yang dipimpin oleh Resi Bisma dan diakhiri dengan adegan kematian Abimanyu yang mengakibatkan kesedihan bagi Arjuna, ayahnya, dan seluruh keluarga Pandhawa sampai dengan persiapan bela pati Siti Sundari atas kematian Abimanyu, suaminya.

Jika kita membaca karya Kyai Yasadipura, terutama SB yang tengah dibahas ini, kita akan menemukan satu bacaan dalam balutan tembang macapat yang indah dan mengalir.  Terbukti Kyai Yasadipura memang ahli dalam memilih kata, dan tampaknya memang ia memiliki perbendaharaan kata dalam Bahasa Jawa yang demikian luas serta kehalusan rasa yang membuatnya mampu merangkai suatu cerita sehingga terasa demikian hidup dan indah.  Tak lupa pada tiap-tiap akhir pupuh atau bab, Kyai Yasadipura selalu mempergunakan sasmitaning tembang atau tanda berupa kalimat atau gugus kata yang merujuk pada metrum tembang pada bab berikutnya.

Berikut akan dikutip salah satu bagian dari SB yang menunjukkan keterampilan Kyai Yasadipura dalam berolahkata:
//Lumreng tawang djawata ngudani/ wewangi rum mawor/ kembang-kembang kombang manut akeh/ maledug baris Korawa wiwrin/ larut tan mapulih/ keh prawira lampus//
Terjemahan bebas:
Dari langit para dewa menghujani dengan bunga-bunga yang semerbak harum hingga mengundang kumbang dalam jumlah yang banyak.  Barisan Korawa bubar dengan rasa takut, tiada yang berkeinginan untuk kembali ke medan perang.  Banyak perwira yang mati.  (SB XVII: 2).
Serta pada pupuh yang sama bait 15 sebagai berikut:
//Wetuning wulan sampun binasmi/ musnane kang lajon/ marang lokabuwana awune/ kuneng wau ing dina sawidji/ ari kawlas asih/ dina nggoning wujung//
Kutipan terakhir sengaja tidak diterjemahkan dengan alasan agar tidak “mengganggu” kenikmatan dalam merasakan manis dan indahnya jalinan kata hasil olahan Kyai Yasadipura saat menggambarkan syahdunya suasana saat gugurnya Resi Bisma.

DARI KAKAWIN BHĀRATAYUDDHA KE SERAT BRATAYUDA
Bagian ini akan dimulai dengan pembahasan selintas tentang seberapa besar keterkaitan kisah dalam KB dengan sumber-sumbernya yang lebih tua (parwa-parwa) dan tentunya Mahābhārata.  Setelah itu, baru kemudian kita akan masuk pada bagaimana Kyai Yasadipura mereinterpretasikan KB sehingga lahirlah SB.  Seberapa banyak “rumpang” yang dengan tanpa sengaja telah dibuat oleh Kyai Yasadipura yang mengakibatkan adanya perbedaan-perbedaan atas kisah atau bagian kisah dalam KB yang kemudian lestari dalam ingatan masyarakat Jawa hingga saat ini.

Untuk dapat mengkaji permasalahan pertama dalam bagian ini, penjelasan dari Zoetmulder dalam Kalangwan akan menjadi pegangan yang utama. Zoetmulder menjelaskan bahwa isi KB bersumber pada Udyogaparwa pada bagian persiapan pertempuran agung sampai dengan Sauptikaparwa, pembantaian para perwira Pāņdawa di malam sesudah pertempuran.  Disebabkan oleh adanya konvensi kakawin yang membatasi panjang sebuah kakawin, sudah barang tentu terjadi pemotongan bagian cerita yang cukup drastis terjadi dalam KB.  Akan tetapi, pengarang KB tampaknya cukup cermat untuk tetap mempertahankan struktur pokok cerita dan bahkan memberikan porsi yang lebih besar untuk puncak-puncak dramatis dengan menghilangkan hal-hal yang kurang penting dan digresi-digresi.  Di lain pihak, tuntutan tradisi kakawin dan tuntutan tampilnya sifat kalangőn membuat penyair KB memberikan tambahan-tambahan secukupnya yang tidak mengubah alur utama cerita seperti pada deskripsi alam saat Kŗşņa tiba di Hāstina dan pada bagian peperangan Abimanyu yang demikian heroik dan legendaris.

Namun demikian, Zoetmulder rupanya menangkap pula beberapa penyimpangan yang terjadi dalam KB yang tidak sesuai dengan kisah dalam Mahābhārata.  Penyimpangan ini tampak misalnya pada bagian ketika Śweta diangkat sebagai panglima bagi pasukan Pāņdawa.  Ketika akhirnya Śweta gugur di tangan Bhīşma, posisinya kemudian digantikan oleh Dhŗşţadyumna.  Kisah ini menjadi berbeda dalam Mahābhārata karena di sana jabatan panglima tertinggi dipegang oleh Dhŗşţadyumna.  Śweta bukanlah tokoh penting.

Demikian pula pada bagian ketika Aśwatthāmā menyerang Pāņdawa untuk membalas dendam atas kematian Drona, dalam KB terjadi kebingungan cerita yang hanya dapat dipecahkan jika kita membaca sumber aslinya yaitu Mahābhārata, yaitu mengapa Kŗşņa menyuruh para perwira turun dari kereta dan berdiam adalah karena senjata Nārāyana hanya menyerang mereka yang aktif berperang dan tidak akan berefek pada mereka yang berdiam.  Penjelasan ini tidak dapat ditemukan dalam KB.  Selanjutnya yang terjadi adalah bagian-bagian yang membutuhkan penjelasan namun tidak dijelaskan dalam KB.

Uniknya, penyimpangan-penyimpangan tersebut terjadi pada bagian yang digubah oleh Mpu Sedah.  Sedangkan Mpu Panuluh dapat dikatakan dibebaskan untuk dapat melanjutkan bagian yang disisakan oleh Mpu Sedah.  Zoetmulder mengemukakan sebuah kemungkinan bahwa hal tersebut memang telah menjadi kehendak Raja Jayabhaya.

Permasalahan berikutnya adalah mengenai penyimpangan yang terjadi pada SB.  Untuk dapat mengkaji permasalahan ini saya menjadikan uraian Poerbatjaraka dalam Kapustakan Djawi sebagai rujukan yang utama.  Penyimpangan pertama dalam SB yang dicatat oleh Poerbatjaraka adalah mengenai tokoh Sagotra yang “tanpa sengaja” diciptakan oleh Kyai Yasadipura dalam SB sebagai seorang tokoh bambang atau pemuda gunung yang karena rumahtangganya telah diselamatkan oleh Arjuna maka ia pun berjanji untuk mengorbankan dirinya dalam perang Baratayuda untuk Pandhawa.  Padahal, dalam teks KB tokoh Sagotra tidak pernah ada.  Hal ini terjadi karena pembacaan yang salah oleh Kyai Yasadipura.

Selanjutnya adalah munculnya tokoh Begawan Sapwani atau Begawan Sempani yang oleh Kyai Yasadipura diinterpretasikan sebagai nama ayah Jayadrata, tokoh pembunuh Abimanyu, yang pada KB tidak pernah dikenal.  Lagi-lagi kesalahan Kyai Yasadipura dalam membaca teks KB telah membuatnya menciptakan kondisi “salah kaprah” atas kisah Baratayuda.  Bacaan yang seharusnya dibaca teka mara ye kisapwani bapanya oleh Kyai Yasadipura dibaca dengan pemenggalan yang keliru yeki sapwani bapanya.

Kesalahan membaca kembali berulang beberapa kali hingga muncullah nama Tutuka sebagai nama lain dari Gathutkaca, munculnya tokoh bernama Tuhayata sebagai patih Mandaraka, kesalahan interpretasi bahwa tokoh Pancawala adalah nama seorang tokoh padahal dalam KB, Pancawala merupakan istilah untuk menyebut kelima anak para Pandhawa dari Dewi Drupadi tanpa diperikan namanya masing-masing.  Kemudian munculnya tokoh Sanga Sanga sebagai putra Satyaki juga bersumber dari kesalahan Kyai Yasadipura dalam memenggal kata yang seharusnya dipenggal Sang Asanga yang berarti mereka bersembilan yang merujuk pada putra Satyaki yang berjumlah sembilan orang tanpa diperikan namanya satu demi satu.

PENUTUP
Demikianlah apa yang dapat disajikan tentang selintas kajian mengenai transformasi teks dari KB ke SB.  Sekali lagi terbatasnya waktu dan data yang dapat dijangkau untuk dirujuk membuat kajian ini menjadi kurang komprehensif.  Akan tetapi, dari kajian ini diharapkan dapat turut memberikan informasi pada pihak-pihak yang berkepentingan terutama kalangan akademis mengenai transformasi yang terjadi atas teks SB yang bersumber pada KB.

Kita tentunya tidak dapat menyalahkan mendiang Kyai Yasadipura karena kealpaannya yang menyebabkan terjadinya penyimpangan permanen atas kisah Baratayuda.  Bagaimanapun perlu ditandaskan kembali bahwa kita patut memberi penghargaan pada penggubah SB yang telah berjasa menyelamatkan kandungan KB yang nyata merupakan karya sastra monumental yang dimiliki oleh bangsa ini.  Atau dapat ditawarkan pula bahwa lepas dari penyimpangan yang terjadi akibat kurangnya penguasaan Kyai Yasadipura atas Bahasa Jawa Kuna, kita dapat melihat perbedaan-perbedaan yang ada pada SB sebagai warna baru yang mewakili kreativitas, inovasi, dan semangat budaya pada zamannya.  Lebih jelasnya, mari kita lihat SB sebagai hasil olah cipta Kyai Yasadipura yang terinspirasi dari KB.

Nyatanya, hingga saat ini SB menjadi patokan bagi para seniman wayang untuk mempergelarkan kisah-kisah di seputar peperangan legendaris bernama Baratayuda.  Tentunya selalu ada kemungkinan bahwa jika Kyai Yasadipura tidak berinisiatif untuk “memindahkan” isi KB ke dalam SB gubahannya, barangkali generasi di masa ini tidak akan pernah mengenal cerita yang demikian indah dan sarat makna ini, dan tidak akan pernah ada penggalian nilai-nilai dari kisah yang demikian inspiratif ini.

Wacana dan kajian mengenai transformasi teks KB ke SB tentunya dapat menjadi sebuah kajian yang panjang yang membutuhkan ketersediaan ruang, waktu, data, dan keahlian yang memadai.  Semoga di masa yang akan datang dapat dibuat lagi kajian yang lebih mendalam dan menyeluruh tentang transformasi teks KB ke SB.

DAFTAR BACAAN:
Darusuprapta, Drs. (ed).  tt.  Serat Bratajuda.
Poerbatjaraka, Prof. Dr. R.M.Ng.  1952.  Kapustakan Djawi.  Jakarta: Djambatan.
Supomo, S.  1993.  Bhāratayuddha An old Javanese Poem and its Indian Sources.  New Delhi:  International Academy of Indian Culture.
Wirjamartana, I. Kuntara dalam Riris K. Toha-Sarumpaet (ed.).  2007.  Ungkapan Formulaik dalam Kakawin Bhāratayuddha.  Jakarta:  YOI.
Wirjosuparto, Prof. Dr. R.M. Sutjipto.  1968.  Kakawin Bharata-Yuddha.  Jakarta: Bhratara.
Zoetmulder, P.J.  1994.  Kalangwan Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang.  Jakarta: Djambatan.  


setting Table of Contents pada Blogger

 Memasang Table of Contents pada Blogger Secara Otomatis Jika anda pengguna CMS WordPress, tentunya sangat mudah untuk membuat Table of Cont...